Suatu
kali di sebuah desa, ada seorang istri yang mengeluhkan perubahan sikap
suaminya. Sang suami yang kembali dari perang membela kerajaan, kini berubah
perangainya.
Jika
dulu penyabar dan sangat menyayangi istrinya, kini menjadi gampang marah, mudah
tersinggung, dan bahkan sering mengeluarkan kata-kata kasar.
Awalnya,
sang istri berusaha terus bersabar dengan kondisi tersebut. Ia yakin, suaminya
suatu saat akan berubah kembali seperti semula. Namun, beberapa bulan berlalu,
entah mengapa perangai suaminya tidak juga berubah.
Sang
istri nyaris putus asa, bahkan sudah berniat menyudahi pernikahan mereka.
Beruntung, saat mengadukan masalahnya pada seorang sahabat dekat, ia mendapat
informasi adanya seorang pertapa di gunung yang sangat sakti.
Demi
kecintaan yang mendalam kepada suaminya, sang istri pun menempuh perjalanan
cukup jauh untuk bertemu dengan sang pertapa.
“Wahai
pertapa yang baik, aku punya masalah dengan suamiku yang berubah sifatnya
setelah pergi menunaikan tugas membela kerajaan. Apakah Anda bisa membuatkan
ramuan sakti, atau adakah cara lain untuk mengembalikan sifat kasih suamiku
seperti dulu?”
Tampak
sang pertapa berpikir sejenak. “Memang, ada banyak orang yang berubah sifat
setelah usai berperang. Sebenarnya itu wajar, mengingat perang meninggalkan
banyak korban dan kepedihan. Jangan khawatir, ada sebuah cara untuk itu. Hanya
perlu satu syarat lagi, agar harapanmu bisa terkabulkan.”
“Apa
itu?” tanya sang istri tak sabar. “Aku pasti akan segera memenuhinya.”
“Aku
hanya butuh tiga lembar kumis harimau di hutan!” sebut sang pertapa yang
membuat sang istri kaget.
“Bagaimana
aku bisa mengambil kumis dari binatang buas itu?”
“Semua
terserah padamu. Kamu yang butuh ramuan ini, lakukan perintahku ini. Jika
tidak, ramuan ini tak akan bisa bekerja seperti yang kamu minta,” seru pertapa
tegas.
Meski
berat syarat yang diminta—karena begitu besar cintanya dan tak ingin
keluarganya berantakan—si istri menurut. Maka, setelah tahu ke mana biasanya
harimau bersarang di tengah hutan, dikumpulkan keberaniannya untuk mengamati
sang harimau.
Beberapa
hari mengamati, si istri mendapat akal. Di sebuah pagi buta, sebelum harimau
keluar dari sarangnya, ia menyiapkan nasi yang dilumuri kuah daging di depan
sarang harimau. Pelan sekali ia melakukan itu. Tentu, dengan hati berdebar, ia
tak ingin membuat harimau terbangun dan menerkamnya.
Lantas,
dari jauh, ia pun mengamati, apakah harimau itu mau makan makanan pemberiannya.
Ternyata,
meski semula didiamkan, lama-lama makanan tersebut mulai dijilati harimau
dengan lahap. Si istri senang, taktiknya berhasil. Maka, hari-hari
berikutnya—meski tetap dengan ketakutan yang masih bersisa—ia terus memberikan
mangkuk nasi dengan aroma kuah daging.
Beberapa
bulan berlalu. Saat itu, keberaniannya mulai bertambah. Sang harimau pun
seperti sudah akrab dengan kebiasaannya menyediakan mangkuk nasi aroma daging.
Saat
ia mendekati sarang harimau, derap kecil langkahnya mulai dikenali sang
harimau. Sehingga, tak lama ia menaruh mangkuk, sang harimau segera datang
memakan dengan lahap.
Begitu
seterusnya, hingga akhirnya, si istri mulai berani lebih dekat lagi dengan
harimau yang terlihat lebih jinak.
Tak
terasa, delapan bulan lamanya. Akhirnya si istri dan harimau kini benar-benar
menjadi sahabat akrab. Si istri sering mengelus kepala harimau, dan sebaliknya,
harimau kerap bermanja-manja dengan si istri.
Saat
itulah, si istri dengan kelembutannya memohon pada harimau untuk mau memberikan
tiga helai kumisnya sebagai bagian dari ramuan untuk suaminya.
Tak
lama kemudian, si istri datang kepada sang pertapa untuk memberikan tiga helai
kumis harimau tersebut. Sang pertapa pun bertanya, apakah benar itu adalah
kumis harimau hidup yang asli. “Ceritakan padaku bagaimana kamu bisa
mendapatkan kumis itu?”
Si
istri lantas berkisah, bagaimana selama delapan bulan terakhir, ia mencoba
menaklukkan keganasan harimau. Dari awalnya sangat takut, pelan-pelan mencoba
memberikan makanan, hingga akhirnya menjadikan harimau itu sebagai sahabat.
Sang
pertapa lantas mengangguk-angguk senang. Namun tiba-tiba, tiga kumis harimau
itu bukannya dibuat ramuan, tetapi malah dibuang ke perapian dan segera lenyap
tak berbekas.
Si
istri terkejut sekali dengan tindakan sang pertapa. “Pak pertapa, mengapa melakukan
itu…? Itu adalah kumis harimau yang aku dapat dengan perjuangan sangat berat…!”
ratap si istri.
Tenang,
sang pertapa menjawab. “Kamu tak perlu ramuanku lagi. Kamu lihat, harimau yang
ganas saja bisa takluk dengan kesabaranmu. Lalu, bagaimana jika hal yang sama
kamu perlakukan pada manusia, yakni suamimu? Aku yakin, emosi yang sering
muncul dari suamimu pelan tapi pasti bisa kamu taklukkan seperti kamu
menjinakkan harimau itu. Pulanglah, kembali pada suamimu, dan perlakukan dia
dengan kesabaran dan kasih sayang.”
Kisah tersebut adalah cerita tentang kegigihan seseorang dalam
mencoba memecahkan masalah yang dihadapi. Butuh kesabaran ekstra, bahkan sangat
lama, untuk mengatasi kondisi-kondisi yang kadang memang kurang mengenakkan.
Tapi, semua bisa dihadapi dengan kesabaran dan ketekunan. Masalah
datang bukan untuk ditinggalkan, tapi diselesaikan. Halangan dan rintangan
memang kerap mengunjungi hingga membuat kita terasa tersakiti, tapi sebenarnya
itu adalah “ujian” untuk membuat kita menjadi lebih baik dan lebih baik lagi.
Untuk meraih sesuatu memang butuh pengorbanan. Tak ada proses yang
berjalan instan. Seperti kisah si istri penakluk harimau yang saya bagikan
ini.Kesabaran tingkat tinggi yang ditunjukkan mampu menjadi solusi luar
biasa—yang bahkan dianggap mustahil pada awalnya—untuk mengatasi persoalan apa
saja.
Mari,
sadari bahwa semua berproses. Kuatkan keyakinan, tambahkan kesabaran, mantapkan
ketekunan. Niscaya, akan ada banyak hal yang bisa kita lakukan untuk meraih
kemenangan sejati.
0 Comments:
Posting Komentar